Thursday, March 24, 2011

mercu suar

Aku berdiri di puncak menara.



Mengenang sebuah lagu merdu tentang seorang perempuan yang begitu bangga pada kekasihnya yang begitu besar, hebat dan selalu menjadi pemberi penerangan bagi siapa saja yang berjalan di dalam kegelapan. …
Dia memanggilnya : Faro.



Dia bernyanyi  merdu tentang sebuah negeri yang indah di sebuah teluk  hangat diterangi api-api yang mengisyaratkan sebuah nama cantik : Cleopatra…Alexandria…


Perempuan itu kemudian berkata, ”Kekasihku tidak seperti mercu suar yang hanya menerangi mereka  di kejauhan sana, karena dia selalu menerangiku yang berada di dekatnya..”


Aku terharu.
Lalu aku bernyanyi perlahan.
Sebuah lagu tentang hidup damai di rumah tua, di atas tebing menghadap ke lautan…laguku tidak terdengar karena kunyanyikan dari ketinggian puncak menara.



Atau mungkin suaraku tenggelam ke dalam tembok menara yang tebal dan tersapu angin kencang.




Menara itu sendiri tak sanggup mendengar karena ‘dia’, memgemban tugas yang tidak remeh, memberi isyarat api kepada setiap kapal yang berlayar di kegelapan malam, agar tidak tersesat.


Tapi tak apa. Aku tetap mengagumi keromantisan yang dipancarkan oleh menara yang melempar api besar ke tengah laut itu.



Aku akan tetap menyanyikan laguku dari puncaknya sambil menyalakan unggun  kecil di dalamnya.


Seperti Shinji yang ingin sekali bercinta dengan Hatsue di pinggir api unggun dalam menara pengawas.



Di luar sana badai mengamuk,
namun Shinji mendengarnya sebagai senandung ombak.


(teks dibuat 2003 dan gambar dibuat 2001 di Taka Bonerate)

lenteng agung, 24 maret 2011

Monday, March 21, 2011

api kecil































kalau hanya dunia yang kaupinta, pasti sekuat tenaga kuberi karena kau telah beri aku surga



lenteng agung. 21 maret 2011

Tuesday, March 15, 2011

birthday card from Lenteng Agung



Kawan,
suatu ketika aku bertengkar dengan seorang teman dari negeri seberang
Yang bilang betapa buruknya budaya kita.
Dan aku marah
Aku bilang, “Negaraku memang keos. Aku terima kalau kau lihat kami memiliki mental yang mencla mencle. Tapi itu bukan masalah kebudayaan. Mungkin mentalitas yang menjadi kebudayaan.”




Aku lanjutkan ngomelku pada si bule, “Tapi ada kebudayaan luhur kita yang digerus oleh negaramu! Dan sekarang kami berjuang memperbaiki itu!! Tahukah kamu?!!!”




Dia bilang, “C’mooon…itu sudah berlalu 66 tahun!”
Aku jawab, “C’mooon…apa artinya 66 tahun dibanding 350 tahun?”
Dia jawab,  “C’moooon… bukan saya yang melakukannya, you know that!”
Aku jawab, “Cmoooon…apa yang kamu lakukan di Congo?”
(C’mooooon…kemudian ini menjadi debat kusir yang sangat bodoh).




Hampir menangis, kemudian aku berkata,
“Tapi kami melakukan sesuatu, you know that?? who gave the name?"

Itulah, Kawan.
Banyak cerita nih… aku kangen.








Heeeiii… maaf aku nyerocosss..
Apakabar, Kawan?
Terakhir bertemu di Aceh 6 tahun yang lalu, kita bertengkar.
Bukan karena apa yang kita sama-sama lakukan bukan?
akhirnya kita sepakat pertengkaran itu kebodohan. Padahal saat itu kita sedang bicara kesiapan, kesiagaan, pencegahan, pengetahuan... kita sedang berjuang bukan? Dengan cara kita? 
(maafkan kalau  saat itu aku berpikir kau naif, kau sedang bermimpi, walau selalu percaya kau adalah si pewujud mimpi)




Setahun setelah itu kita memutuskan untuk tidak selalu bersama. Walau kita sedang bersama-sama berjalan ke depan, ke arah yang sama.
Itu lebih baik
Itu lebih jelas.
Sesekali bertemu untuk berbincang
Di waktu tertentu, di tempat tertentu, di Kota Padang.






Padahal sepuluh tahun yang lalu kita berjabat tangan erat di penginapan kecil di ujungnya pandangan   sebuah selat, dan sepakat untuk bersama-sama berjalan di jalan ini, melakukan yang harus kita lakukan
Tanpa ‘wadah’.





Kamu bilang aku ‘si terumbu karang’ karena, katamu, bicaraku selalu bercabang. Karena katamu, bicara terumbu karang tidak cukup bicara tentang rehabilitasi saja, kita juga harus bicara tentang masyarakat pesisir, sosial ekonomi masyarakat pesisir, illegal fishing, illegal trading, bombing, sianida, aparat terkait, haaaaiiiissssshh…banyak ya?

Dan aku cuma bilang : “kawan, kamu luar biasa.”
 






Dan hari ini kau menyuratiku : 
'Kita pikir mudah bicara budaya sadar bencana. Padahal banyak budaya kita yang terpelihara, justru mencegah kita sadar, apalagi siaga.
Jepang sedang bercerita realita yang kita bincangkan dengan sok tahu di 6 tahun belakangan ini’






Kamu menunduk, aku menunduk. Tapi hanya sejenak.
Ok, Kawan
Sampai di sini dulu ya. Ayo kerja lagi. Sampai ketemu.











selamat ulangtahun, Irina Rafliana

Lenteng Agung 15 Maret 2011






Wednesday, March 9, 2011

t i d u r































































leneteng agung, 9 maret 2011

Sunday, March 6, 2011

teringat bone



aku urungkan niatku untuk bertanya pada 
perempuan itu tentang kekhawatirannya akan 
publikasi yang mengancam keselamatannya, 
keluarganya,karirnya, anaknya, kecantikannya, 
masa mudanya, gairahnya, ...dan sebagainya
(setelah aku tahu dia pernah mempertaruhkan 
segalanya pada mata sebilah badik)


 

 











Tabung kaca hancur lebur dalam sekali tebasan badik
Seribu tabung kaca hancur lebur dalam sekali tebasan 
seribu badik [Lenteng Agung, 8 November 2004]







dikorek lagi di lenteng agung, 6 maret 2011